The first encounter

Sydney
4 min readJan 22, 2024

--

Mata Dhara terlalu lekat memandang monitornya sampai sampai ia tidak sadar bahwa ada seseorang berjalan mendekat ke arahnya.

“Permisi, mba.” Lelaki itu berujar, menarik perhatian Dhara.

Saat Dhara memalingkan wajah untuk melihat siapa yang baru saja bicara, Dhara hanya bisa melongo.

“Ini toiletnya dimana ya, mba?”

Dhara beruntung orang itu terlalu kebelet untuk sadar bahwa Dhara dari tadi hanya mengerjap dengan mulut ternganga.

Dhara menunjuk ke arah toilet tanpa mengatakan apapun, dan orang itu segera berhamburan ke arah tersebut.

Baru setelah orang itu hilang dari hadapannya, Dhara tersadar bahwa ia dari tadi mematung.

Dhara benar-benar keheranan.

Bagaimana bisa ada dewa Yunani tiba-tiba muncul di sini?!

Sekembalinya dari toilet, si lelaki dewa Yunani itu terlihat lega. Tapi saat ia menghampiri Dhara di front desk dan berkata, “Halo, mba.”, ia terdenger sedikit gugup.

Dhara bahkan tidak sadar orang itu sudah kembali karena Dhara terlalu sibuk bermain dengan ponselnya. Dhara sedang mencari foto aktor Jepang yang doramanya sering ia tonton, untuk mongonfirmasi bahwa lelaki dewa Yunani tadi memang mirip dengan aktor tersebut.

Dan saat Dhara meneliti wajah laki-laki itu dari jarak yang lebih dekat sekarang, ternyata memang benar bahwa wajahnya mirip aktor Jepang yang Dhara pikirkan.

“Iya, mas. Ada yang bisa dibantu?” Dhara mengulas senyum sopan untuk menyembunyikan raut terpesonanya.

“Saya mau jenguk orang, mba.”

“Baik mas, bisa tolong infokan nama Resident yang mau dijenguk?”

Lelaki itu berdeham. “Ibu Ajeng Lestari, mba.”

Jemari Dhara segera bergulir di mouse. Sembari mencari data Bu Lestari di komputernya, Dhara kembali bertanya supaya ia bisa mencuri pandang sedikit ke lelaki yang tubuhnya dibalut jaket jeans itu. “Masnya atas nama siapa dan hubungannya apa dengan Residentnya ya, mas?”

“Oh, saya Karenino. Saya cucunya, mba.”

Mendengar itu, Dhara seakan menemukan kepingan puzzle yang selama ini masih hilang. Dhara langsung mencoba menyatukan kepingan kepingan itu di kepala.

Karena kalau memang benar Karenino ini cucu Bu Lestari, artinya Bu Lestari tidak berbohong saat berbicara tentang ketampanan cucunya. Dan Dhara tentu bersedia dijodohkan dengan lelaki ini.

Tapi Dhara cepat sadar bahwa ia sedang bekerja. Dan Dhara selalu ingin menjaga profesionalisme dalam lingkungan kerja, maka ia berusaha untuk tidak terlalu sibuk dengan pikirannya.

Walaupun wajah si Karenino yang kelewat tampan ini tidak membantu sama sekali.

“Tapi Mas Karenino bukan wali Bu Lestari saat mendaftar ke sini ya? Soalnya nama yang tertulis di form pendaftaran berbeda.”

“Oh, iya mba, memang bukan. Yang tertulis di situ nama om saya. Januari Lesmana, betul kan?”

Senyum Dhara mengembang. “Betul, mas. Kalau begitu aku minta KTP sebagai jaminan selama periode jenguk ya.”

Nino menyerahkan KTP-nya dan Dhara dengan cepat menyelesaikan administrasi yang diperlukan. Setelah itu barulah Dhara berujar, “Yuk, mari saya antar.”

Perjalanan mereka ke kamar Bu Lestari jadi memakan waktu lebih lama karena Nino berjalan dengan lambat dan Dhara berusaha menyesuaikan temponya.

Ini pertama kali Nino datang kesini, jadi Dhara mewajarkan kalau ia banyak takjub dengan Rumah Asa. Nino banyak bertanya sambil celingukan mengamati sekelilingnya dengan saksama.

Dhara tentunya berusaha menjawab semua pertanyaan Nino tentang Rumah Asa. Sekali dua kali melontarkan candaan yang membuat Nino tertawa.

“Di sini hampir ada semua jenis activity, mas. Ada workshop art and craft, sosialisasi penyakit hari tua, bahkan beberapa jenis olahraga pun rutin kita lakukan.”

“Kalau boleh tau, oma saya ikut activity apa aja, mba?”

“Bu Lestari baru-baru ini mulai ikut kelas Yoga setiap Kamis pagi. Soalnya beliau ada keluhan back pain beberapa waktu lalu. Tapi kita sudah lakukan pengecekan dokter, dan hasilnya baik-baik saja ya mas, jadi Mas Karenino gak perlu khawatir.”

Alis Nino sempat bertaut, namun ia segera menghela napas lega dan mengangguk mengerti setelah Dhara menjelaskan lebih lanjut terkait keadaan Bu Lestari.

“Untuk activity lengkap yang diikuti Bu Lestari, mungkin nanti aku bisa kasih jadwal lengkapnya ke Mas Karenino ya?”

“Iya, boleh banget mba.”

Nino kembali mengamati sekitar, entah melihat apa. “Pemandangan di sini bagus ya, mba. Tamannya asri banget.” adalah kalimat yang terakhir Nino ucapkan sebelum akhirnya mereka sampai di kamar Bu Lestari. Dhara menanggapinya dengan tawa renyahnya untuk membenarkan

Dhara menunggu Nino untuk langsung masuk ke kamar Bu Lestari, tapi ia terlihat ragu. Dhara langsung berinisiatif untuk masuk lebih dulu ke ruangan. “Saya duluan ya, mas.”

Dhara mengetuk pintu dan menunggu Bu Lestari mengizinkannya untuk masuk.

“Oma, aku bawa hadiah loh…!” Setelah mengatakan itu, Dhara menggeser tubuhnya ke samping agar Nino yang masih berdiri di ambang pintu dapat terlihat oleh Bu Lestari.

Dhara menyaksikan wajah Bu Lestari berubah jadi berseri-seri. Senyumnya begitu lebar saat ia bangkit dari sofa dan langsung melangkah cepat ke arah pintu dengan tangan terbuka lebar.

Bu Lestari memeluk Nino erat, dan Dhara tahu ini waktu baginya untuk membiarkan kedua orang itu melepas rindu.

“Kalau begitu saya pamit dulu ya. Please enjoy the time, Oma dan Mas Karenino.”

Dhara swears she has just witnessed something so heartwarming and she really could cry anytime now.

--

--

Sydney
Sydney

Written by Sydney

0 Followers

Sydney’s writing archive! @hzanahaki on Twitter.

No responses yet